Thursday, September 5, 2013

APAPUN GOLONGANMU KITA ADALAH SAUDARA

Oleh: Ahmad Saifudin Mutaqi, IAI, Ir. MT.(1)

Beberapa waktu lalu saya tercerahkan oleh pernyataan Prof. DR. Syafei Ma’arif pada saat saya menjadi moderator talk show dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Jogjakarta. Beliau menyatakan bahwa persaudaraan itu tidak terbatas pada umat beriman saja, melainkan juga kepada mereka yang tidak beriman, karena sejatinya umat manusia itu bersaudara satu dengan lainnya. Pernyataan simpati terhadap kemanusiaan dikuatkan oleh Kyai Abdul Muhaimin, pendiri FPUB, bahwa sesungguhnya umat manusia adalah bersaudara sebagaimana firman Allah SWT (QS al-Hujarat [49]:13) menyatakan:
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ayat ini meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi dan meliputi seluruh umat manusia. Pada hakikatnya ayat ini merupakan “Magna Charta” piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia. Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia, semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah SWT. Harga seseorang tidak dinilai dari warna kulitnya, jumlah harta miliknya, atau oleh pangkat dan kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaqnya dan oleh cara ia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan dan manusia. Seluruh keturunan manusia tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka pengetahuan yang lebih baik mengenai satu sama lain agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing.(2)

Dalam mengenali dan memahami keberadaan umat manusia sebagai umat yang satu dan terhubungkan satu dengan lainnya atas dasar ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa , maka melalui firman-Nya, Allah SWT telah menjelaskan bahwa keberadaan manusia adalah “Dan sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kamu, maka bertaqwalah kepada-Ku” (QS al-Mukminun [23]:52). Disini terdapat semangat persatuan yang diperintahkan Allah SWT dalam kata “ummatukum ummatan wahidattan” yakni agar seseorang yang selama merasa menjadi manusia sesungguhnya maka selayaknyalah ia selalu menghargai persaudaraan terhadap umat manusia secara keseluruhan. Tampaknya penghargaan atas sikap bersaudara seseorang terhadap orang lainnya menjadi ukuran keberhasilan dalam ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya seseorang bisa berhasil dan bisa pula gagal dalam ia melaksanakan perintah Allah SWT untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Dilain pihak akan dengan mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan manusia semuanya bertaqwa kepada-Nya, namun justru tidak demikian, sebagaimana firman-Nya yang menyatakan bahwa “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS Huud [11]:118). Bahkan dalam firman lainnya, Allah SWT menyatakan “Dan jika Tuhan dikau menghendaki, niscaya semua orang di muka bumi akan beriman, semuanya. Apakah engkau akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang mukmin? (QS Yunus [10]:99). Inilah kiranya kehendak Allah SWT memberi peluang dan mendorong manusia untuk progresif mendapatkan kedekatan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian ketaqwaan seseorang kepada Tuhan merupakan karunia yang besar, bahkan iman seseorang juga merupakan karunia Tuhan yang luar biasa, mengapa, karena telah menjadi sunnatullah bahwa manusia memang senantiasa berselisih. Perselisihan sering menimbulkan pertengkaran dan tindakan-tindakan kekerasan diantara manusia, yang salah satu penyebabnya adalah karena tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya. Bisa jadi benar ungkapan yang indah ‘siapa tak kenal maka tak sayang’ pun berlaku dalam hubungannya seseorang kepada orang lain maupun kepada Tuhan-nya.

Mengenal dan Mencintai Tuhan
Manusia yang mengenal Tuhan-nya secara benar maka ia tidak akan pernah melepas kedekatan hubungan dengan Tuhan-nya itu, karena dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT juga menghendaki agar manusia dengan segenap kemampuannya secara terus menerus menyembah, mentaati dan mencintai-Nya (QS ar-Rum [30]:31). Itulah sebabnya Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Pemurah dan Maha Penyayang menganugrahkan kepada manusia suatu kemampuan untuk dipergunakannya dalam mencapai tujuan hidup yang ditetapkan Allah SWT dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selanjutnya, mengenal Allah SWT secara hakiki akan menumbuhkan pemahaman dan pengetahuan karena apa yang difirmankan-Nya tidak bertentangan dengan apa yang dilaksanakan-Nya (sunnatullah). Sebuah tamzil yang indah dipahamkan kepada kita sebagai berikut “Hanya Allah-lah yang Hakiki yang pantas dimintai do’a, yang berkuasa atas tiap sesuatu. Dan mereka yang berseru kepada berhala-berhala selain Allah, berhala-berhala tak sedikitpun dapat menjawab. Keadaan mereka seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke air, lalu berkata: “hai air datanglah ke mulutku”
apakah air itu datang ke mulutnya? Sekali-kali tidak! Jadi barang siapa tidak mengenal Tuhan Yang Hakiki, segala do’a mereka menjadi sia-sia”. (QS ar-Ra’d [13]:15). Allah SWT telah membimbing manusia untuk menelaah secara mendalam terhadap firman-firman-Nya dan pekerjaan-Nya yang satu dengan lainnya sama sekali tidak berseberangan, tetapi saling melengkapi untuk dipahami sebagai sarana mencapai kebahagiaan manusia. Pada saat manusia memasuki alam dunia (dilahirkan) Allah SWT telah memberinya perlengkapan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS an-Nahl [16]:79). Manusia lahir tidak mengetahui sesuatupun kemudian Allah SWT memberinya kemampuan mendengar dan mengetahui ilmu pengehatuan (ilmal yakin), kemudian diberinya kemampuan melihat untuk membuktikkannya (ainal yakin) dan meleburkan diri merasakan kebenaran hakiki dengan hati (haqul yakin). Dan itulah sikap syukur manusia yang meningkat dari waktu ke waktu yang dikehendaki Allah SWT agar ia menjadi manusia yang berubah menuju makrifatullah sebagai manusia yang beruntung. Sebagaimana dipahami bahwa mereka yang hari ini sama dengan hari kemarin dikatakan sebagai orang yang merugi, sedangkan mereka yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Namun sungguh celaka bagi mereka yang hari ini lebih buruk dari pada hari kemarin. Sudah barang tentu keadaan celaka bukanlah keadaan yang diharapkan bagi kehidupan manusia sejati yang baik. Mereka akan terus menerus berusaha untuk melakukan perbaikkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Dengan demikian makna ‘mengenal Tuhan secara hakiki’ telah menjadikan manusia lebih menyadari hak dan keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta dan menumbuhkan manusia lebih memahami dengan ilmu pengetahuannya tentang hukum-hukum Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Selanjutnya praktek ‘kesadaran’ dan ‘pemahaman’ di atas dalam kehidupan nyata merupakan wujud rasa syukur manusia terhadap karunia Tuhan yang telah memampukannya menghadapi tantangan kehidupan. Manusia sejati akan bekerja tidak saja dengan kekuatan tangannya (hand) melainkan juga dengan kecerdasan otak dikepalanya (head) dan dengan ketulusan hatinya (heart). Ia akan menghargai kemanusiaan menggunakan semua perangkat yang Allah SWT berikan kepadanya, bahkan ada ungkapan penghargaan kemanusiaan yang luar biasa “manakala seseorang masih merasakan sakit pada tubuhnya maka ia adalah makhluk hidup, namun ketika ia merasakan sakit orang lain baru ia disebut manusia” (Kyai Abdul Muhaimin).
Dalam dimensi kemanusiaan (habluminannas) manusia dituntut untuk selalu membangun tali silaturahim dalam kehidupan nyata. Silaturahim dapat dimaknai sebagai hubungan baik yang didasarkan atas Kasih Sayang Tuhan. Allah SWT yang memberi kemurahan begitu melimpah sebagai perwujudan sifat Rahmaniyyat, Dia memberi bentuk dan rupa bagi semua makhluk bernyawa, sesuai dengan kondisi dan keperluannya, tidak terkecuali makhluk manusia. Dia menyediakan semua fasilitas dan kekuatan yang diperlukan oleh makhluk-Nya sesuai keadaan masing-masing. Semisal, Dia menciptakan begitu kokoh dan kuat dada seekor burung untuk menghadapi tantangan angin, burung mengepakkan sayapnya yang kuat untuk terbang jauh bermil-mil, demikian pula halnya dengan makhluk hidup lainnya. Manusia mendapat perlakuan Rahmaniyyat – kemurahan yang paling banyak dibanding dengan makhluk lainnya. Dikarenakan demi memenuhi semua keperluan-keperluan manusia, setiap makhluk dan benda berkorban untuknya, luar biasa, maka bersyukurlah. Dalam penciptaan manusia dan perkembangannya, Allah SWT memerintahkan agar manusia bertaqwa dan memelihara silaturahim. Dalam firman-Nya “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah.
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.(QS an-Nisa [4]:2) Perintah ini mengandung makna yang mendalam yakni ketaqwaan kepada Allah SWT selalu diikuti oleh membangun dan memelihara silaturahmi dengan manusia dan ciptaan lainnya. Dengan demikian manusia tidak akan terlepas dari hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sekaligus sebagai dasar dalam membangun kehidupan nyata di alam fana. Saling memberi kebaikkan, tolong menolong yang bermanfaat, memelihara keseimbangan alam dan memanfaatkannya. Filosofi Jawa menyebutnya Hamemayu Hayuning Bawono, memelihara kecantikan bumi (sarana kehidupan) yang diciptakan Tuhan Yang Maha Indah dengan cantik. Manusia mengemban tugas mulia untuk memelihara alam lingkungannya bukan mengeksploitasikannya. Alam lingkungan yang indah memberi manfaat baik bagi kehidupan manusia tidak akan pernah kurang dalam keseimbangannya, kecuali karena keserakahan manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah, bilamana manusia akan mencapai keadaan sempurna sebagai makhluk ciptaan Tuhan? Manusia tidak akan lepas dari keadaan alamiahnya yang mengalami lapar dan dahaga, perasaan takut dan gembira, marah dan cinta. Pada situasi memuncak dan terjepit, manusia sering kehilangan kontrol dan yang muncul adalah sifat alamiahnya (binatangnya) untuk bertahan atau menyerang, dan bahkan membunuh. Orang Barat menyebutnya homo homini lupus. Dalam komunitasnya, manusia bergaul dan berteman, bekerjasama, berpolitik. Manusia sebagai makhluk social menginginkan keadaan masyarakat penuh damai, toleransi dan saling membantu. Mereka yang kuat membantu yang lemah, tanpa harus menjatuhkan martabat Si Lemah. Pepatah mengatakan, memberi dengan tangan kanan, tangan kiri jangan melihat. Orang Barat menyebutnya homo homini socius. Dalam keadaan sadar dan penuh tanggung-jawab akan posisinya sebagai makhluk Tuhan atau disebutnya meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, mereka yang berkecukupan harta sadar mepunyai ‘kewajiban’ menyerahkan sebagaian harta yang Tuhan rezekikan untuk ‘jalan kebaikkan’ melalui Baitul Maal. Sampai pada tahap kesadaran semacam ini manusia disebut mengenal Tuhan-nya dengan kemampuan pikiran, kekuatan perbuatan dan keikhlasan hatinya.
Tahap berikutnya adalah mencintai Tuhan yang sebenarnya memerlukan pembuktian yang nyata dalam kehidupan manusia. Banyak yang menyatakan cinta, namun perilakunya mengindikasikan hal yang sebaliknya, yakni kebencian. Dalam keadaan lapar, tindakan manusia bisa menimbulkan tindakan yang menghalalkan segala cara, maka manusia dihadapkan dengan pilihan memenuhi ‘kewajiban’nya untuk tetap taqwa, takut kepada Tuhannya atau menghindar dan bahkan menjauh (?). Sementara itu janji Tuhan Yang Maha Benar tak pernah bohong “..... Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar. Dan, Dia akan memberikan rezeki kepadanya yang dari mana datangnya tidak pernah ia menyangka....” (QS ath-Thalaq [65]: 2-3). Pada saat semacam ini, kecerdasan spiritualitas manusia diuji dan dihadapkan dengan pilihan tindakan semacam apa yang seharusnya dilakukan. Dalam firman-Nya, Allah SWT memberikan kriteria tentang orang yang bertaqwa, yakni “mereka yang beriman kepada yang ghaib; menegakkan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki dari yang diperolehnya di jalan kebaikkan”. (QS al-Baqarah [2]:3). Kriteria orang bertaqwa ditandai oleh utuhnya pikiran; perilaku dan hatinya dalam meyakini keberadaan Tuhan dan yang ghaib lainnya, kemudian membangun jalan komunikasi dengan Tuhan melalui shalat dan dzikrullah; serta mengorbankan sebagian harta dan rezeki dari-Nya bagi kemaslahatan umat manusia. Maka seseorang yang menyatakan cinta kepada Tuhan-nya, ia akan seutuhnya mengimani-Nya untuk melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya dan menghindarkan diri dari yang dilarang-Nya. Hidupnya selalu berusaha terhubung dengan-Nya dan mengorbankan sebagian harta dan rezeki dari-Nya untuk jalan kebaikkan. Kriteria ini berlaku bagi siapapun yang bertaqwa dan menyatakan cinta kepada Tuhan-nya, baik ia kaya maupun miskin. Bagi yang kaya harta maka secara matematis telah diatur sedemikian rupa sehingga kewajibannya diukur dengan hisab, yakni harta yang berumur genap satu tahun, yang mencapai minimal 96 gram emas dikenakan zakat sebesar 2,5%. Sedangkan bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan sebesar itu, Allah SWT membuka peluang untuk tetap berkorban harta melalui infaq dan shodaqoh yang diatur tidak secara matematis tetapi ikhlas sebagai ukurannya. Hal inipun berlaku kepada siapa saja yang berkehendak melakukan pengorbanan harta, seperti yang dicontohkan Nabi Besar Muhammad SAW dimana harta kekayaan beliau tidak genap untuk di-hisab bagi perhitungan zakat dikarenakan banyaknya ber-shodaqoh, luar biasa! Infaq, dibayarkan oleh siapa saja, baik kaya maupun miskin untuk perjuangan mencapai totalitas ketaqwaan, alias kesempurnaan. Setelah manusia jalankan kewajibannya (Zakat), dan kepeduliannya (Shodaqoh), kemudian dititik ini, manusia siapa saja, kaya-miskin, pintar-bodoh, lelaki-perempuan, dan lain-lain memperoleh kesempatan yang sama untuk ikhlas ber-infaq guna mencapai kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Sungguh Tuhan maha adil, memberi kesempatan kepada siapa saja yang bertaqwa untuk mencapai kesempurnaannya dengan kemampuannya masing2 yang diukur dari hati yang ikhlas. Orang yang takut kepada Allah Ta’ala, dalam setiap musibah Allah Ta’ala akan membukakan jalan keikhlasan untuknya, dan ia akan menciptakan sarana-sarana penghasilan/nafkah bagi orang itu yang tidak pernah terbayangkan olehnya. Yakni, inipun merupakan sebuah tanda orang yang muttaqi, bahwa Allah Ta’ala tidak menjadikan orang muttaqi itu butuh akan keperluan-keperluan yang tidak bermanfaat. Inilah jalan kesempurnaan, manusia bekerja dengan ikhlas penuh dedikasi dan profesional. Ia tunaikan kewajibanya tanpa ragu-ragu dan banyak alasan, ia bangun sensitifitas kepeduliannya kepada orang lain dan ia ikhlas-kan pengorbanan hartanya penuh niat dan taqwa untuk perjuangan mencapai kesempurnaan. Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa jika manusia mengenal dan mencintai Tuhan-nya secara benar maka ia dapat membuktikan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Sedangkan kemuliaan dan kesempurnaan seseorang terhadap orang lainnya ditentukan oleh tingkat ketaqwaannya ke Tuhan Yang Maha Esa.

Membelajakan Harta di Jalan Kemanusiaan
Sistem sosial masyarakat Islam terkait erat dengan fitrat kejiwaan manusia yang hakiki. Di antaranya adalah Islam berusaha mencoba menciptakan suasana dimana tuntutan akan hak seseorang berubah menjadi perhatian pada hak orang lain. Islam mengembangkan tingkat kesadaran dan kepekaan akan penderitaan sesama umat manusia sedemikian rupa sehingga anggota masyarakat lebih memperhatikan apa yang mereka harus lakukan bagi masyarakatnya dan bukan sebaliknya. Dari berbagai sumber hadist diriwayatkan, sebagai berikut: ”Berikan kepada pekerja lebih daripada hak mereka” adalah peringatan yang selalu diulang Rasulullah Muhammad SAW kepada para pengikut beliau. “Bayarkan hak mereka sebelum keringatnya mengering. Jangan membebani mereka yang jadi bawahanmu dengan tugas-tugas yang engkau sendiri tidak bisa melakukannya. Sedapat mungkin berilah makan hamba-hambamu sama seperti yang kau berikan bagi keluargamu. Berikan mereka pakaian yang sama dengan kamu. Jangan menganiaya mereka yang lemah dengan cara apa pun karena engkau akan mempertanggung-jawabkannya kepada Tuhan. Agar engkau tidak menjadi sombong, sekali-kali ajak hambamu duduk di meja yang sama dengan engkau dan layanilah mereka”. Peringatan ini menggambar betapa Islam menghendaki adanya kesetimbangan martabat manusia dan harga diri manusia merupakan hal yang sangat menonjol dalam semua aspek kehidupan dan sering menjadi kesombongan. Ayat berikut dari Al-Quran memberikan kode etika berkaitan dengan kebutuhan mereka yang miskin dan papa serta cara pemenuhannya. Imbalan Tuhan atas sifat pengampunan adalah: “Merekalah yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah di waktu senang dan susah, mereka yang menahan amarah dan memaafkan manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS Ali ‘Imran [3]:134)
Konsep sedekah sebagaimana dimaklumi di dunia ini umumnya bermakna ganda. Pada satu sisi, sedekah merupakan penghormatan bagi nilai-nilai lebih dari si pemberi sedekah. Di sisi lain, hal itu menimbulkan suatu gambaran yang memalukan atau merendahkan bagi si penerima. Laku menerima sedekah itu telah menurunkan status seseorang. Islam telah melakukan revolusionalisasi atas konsep tersebut. Sebuah analisis menarik mengenai mengapa sebagian orang itu miskin sedangkan bagian lainnya kaya, dikemukakan dalam ayat Al-Quran berikut: “Dalam harta benda mereka ada hak bagi mereka yang meminta pertolongan dan bagi mereka yang tidak dapat meminta”. (QS al- Dzariyat [51]:19)
Pokok permasalahan yang luput dari perhatian adalah dalam penggunaan kata “haq” yang merangkum perilaku mereka yang memberi serta mereka yang menerima. Si pemberi diingatkan bahwa apa yang disedekahkannya kepada yang miskin itu sebenarnya bukan miliknya sendiri. Jelas ada sesuatu yang salah dalam suatu perekonomian dimana ada sekelompok orang yang dibiarkan miskin atau terpaksa mengemis untuk bisa hidup. Dalam suatu sistem perekonomian yang sehat, seharusnya tidak ada yang papa demikian. Dalam sistem demikian tidak harus seseorang mengemis demi kelangsungan hidupnya. Pesan yang dikemukakan ayat di atas adalah bahwa penerima sedekah tidak perlu merasa rendah diri atau malu karena sebenarnya Tuhan telah memberikan kepadanya hak mendasar untuk hidup pantas dan terhormat. Jadi, apapun yang diberikan oleh pemberi sedekah sebenarnya adalah hak fakir miskin yang karena satu dan lain sebab berada di tangan si pemberi. Sebagaimana dikemukakan di atas, ajaran Tuhan terkait langsung dengan fitrat manusia. Setiap ketimpangan yang mungkin akan mengganggu keseimbangan akan diatasi dengan tindakan-tindakan korektif.
Dalam kasus di atas tentu saja ada bahaya inheren bahwa sebagian orang tidak berterimakasih kepada penolong mereka. Mereka alih-alih bersyukur atas apa yang mereka terima, malah mungkin mengatakan bahwa apa yang diterimanya itu memang sudah haknya. Ia merasa tidak perlu berterimakasih kepada penolongnya tersebut. Kalau tendensi seperti ini dibiarkan maka sirnalah sikap hormat dan kepantasan. Mengenai penerima sedekah tersebut, Al-Quran berulangkali mengingatkan akan kewajibannya untuk bersyukur dan menyatakan terimakasihnya atas pemberian sekecil apa pun yang diterimanya. Para mukminin diingatkan berulangkali bahwa Tuhan tidak menyukai mereka yang tidak bisa bersyukur seperti: “Jika kamu tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya - tidak tergantung dari kamu. Dan Dia tidak menyukai sifat tidak bersyukur pada hamba-hamba-Nya. Tetapi jika kamu bersyukur, Dia menyukai sifat itu pada dirimu. Dan tiada pemikul beban akan memikul beban orang lain. Kemudian kepada Tuhan-mu-lah kembalimu, dan Dia akan memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia mengetahui segala yang tersembunyi dalam dada”. (QS az-Zumar [39]:7)
Menekankan pentingnya sikap bersyukur, Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan kepada para pengikutnya: “Mereka yang tidak bersyukur kepada sesamanya sesungguhnya juga tidak bersyukur kepada Allah”. Implikasi daripada ini ialah jika seseorang tidak berterimakasih kepada sesamanya, walaupun ia menyatakan syukur kepada Tuhan-nya, maka syukurnya itu tidak diterima oleh Tuhan. Jadi kita lihat bahwa kepantasan, sopan santun dan terima kasih tidak dilarang dalam ajaran Al-Quran seperti ayat di atas. Ayat tersebut merupakan pesan terselubung kepada para penerima sedekah bahwa ia tidak perlu merasa rendah diri dan harga dirinya tidak harus terganggu. Yang tersirat adalah tidak ada yang bertentangan dengan harga diri manusia jika yang bersangkutan bersyukur atau menyampaikan terima kasih, bahkan hal itu akan mengangkat harkatnya. Berkaitan dengan si pemberi sedekah, Islam menerapkan sikap yang berbeda sama sekali. Adalah bertentangan dengan kepantasan dan harga diri jika ia menganggap terimakasih tersebut sebagai haknya. Kecenderungan seperti ini memang merupakan bagian perilaku beradab di mana pun di dunia ini, namun ada satu perbedaan pokok antara perilaku universal ini dengan ajaran Islam mengenai perilaku terhormat. Islam mengharuskan si pemberi sedekah untuk mengkhidmati manusia guna tujuan yang lebih tinggi dan mulia dari semata memenuhi dorongan mencari reputasi melalui tindakan welasasih. Islam berulangkali mengingatkan manusia agar melakukan hal-hal yang baik semata karena Allah SWT guna mencari keridhoan dan rahmat-Nya. Dari sini jelas bahwa ketika seorang Muslim memberikan sedekah kepada seseorang yang membutuhkan, sebenarnya ia melakukannya itu bukan untuk kepentingan dirinya atau pun orang lain, tetapi semata hanya untuk menyenangkan Tuhan-nya yang telah memberinya karunia berupa kekayaan yang dimilikinya. Dari sudut pandangan prinsip tersebut, apa pun yang dibelanjakannya bagi orang lain adalah gambaran terimakasihnya kepada Tuhannya. Sikap mulia itu berakar pada ayat-ayat awal dari Al-Quran yang mengingatkan para mukminin “Menafkahkan segala sesuatu dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka”. (QS al-Baqarah [2]:3)
Karena itu bukanlah semata karena sopan santun jika seorang mukminin menolak ungkapan terimakasih karena ia meyakini bahwa si penerima sepatutnya bersyukur kepada Tuhannya dan bukan kepadanya. Mukminin sejati yang memahami agamanya akan merasa amat kikuk atau resah ketika orang menyampaikan terimakasih atas pemberiannya. Al-Quran menyatakan: “Demi kecintaan kepada-Nya mereka memberi makan kepada orang-orang miskin, anak yatim dan tawanan. Sambil meyakinkan kepada mereka: ‘Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanya karena mengharapkan keridhoan Allah. Kami tidak mengharapkan daripadamu balas jasa dan tidak pula ungkapan terima kasih.’ (QS ad-Dahr [76]:8-9)
Memberi makan saja tidak cukup. Akan lebih berarti kalau kita tahu bagaimana rasanya lapar dan menderita dimana kita bisa berbagi rasa dengan mereka tanpa mengharapkan imbalan terimakasih. Keindahan ayat di atas sangat memukau. Jika para mukminin diperintahkan hanya menunjukkan sikap melecehkan dengan cara menolak terimakasih dan berlaku sebagai orang saleh, maka kemungkinan besar yang muncul adalah sikap munafik. Ketika kita mengatakan ‘Jangan, terimakasih’ sebenarnya kita menyadari bahwa dengan mengatakan demikian harkat kita di mata yang menerima sedekah menjadi lebih tinggi. Ajaran Islam jauh lebih mulia. Si pemberi diingatkan bahwa ia tidak boleh melakukan satu hal yang sama kepada dua pihak berbeda. Suatu amalan dilakukan apakah untuk mencari keridhoan Allah SWT atau memperoleh sanjungan masyarakat. Menurut ayat di atas, seseorang tidak bisa meniatkan keduanya pada saat yang sama. Ketika hamba Allah SWT itu mengatakan kepada mereka yang papa bahwa niatnya adalah mencari keridhoan Tuhannya, maka hal itu sebenarnya mengingatkan dirinya juga bahwa Tuhan-nya itulah sebenarnya yang menjadi pemberi. Dengan demikian rasa rendah diri yang mungkin muncul bisa dihilangkan. Dalam Islam diajarkan bahwa sopan santun kepada sesama bukanlah kebiasaan yang diperoleh dari nilai-nilai budaya, tetapi haruslah berakar pada keimanan yang dalam kepada Tuhan. Setiap sedekah yang diberikan kepada mereka yang papa harus dilakukan tanpa ada maksud-maksud tersembunyi mengharapkan imbalan dari si penerima: “Jangan engkau menganugerahkan kebajikan dengan niat meraih imbalan lebih banyak." (QS al-Muddatsir [74]:6)
Begitu yang bersangkutan telah menyampaikan pemberiannya kepada orang lain, Islam memintanya untuk melupakannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Memuji diri sendiri atas tindak kebaikannya itu dan mengulang-ulang menyebut memberiannya tersebut sama saja dengan memusnahkan amalannya. Seharusnya seorang mukminin sejati berlaku sebagaimana diutarakan dalam ayat berikut tentang perbandingan perilaku yang benar dan salah: “Tamsil orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Dan Allah melipat-gandakan hartanya bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah, lalu mereka tidak mengiringi apa yang dibelanjakan dengan menyebut-nyebut perbuatan baiknya dan tidak pula menyakiti, bagi mereka ada ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan pada diri mereka tentang apa yang akan datang, dan tidak pula mereka akan berdukacita mengenai apa yang sudah lampau. Tutur kata yang lembut dan ampunan adalah lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti. Dan Allah Mahakaya, Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan sedekah-sedekahmu sia-sia dengan menyebut-nyebut jasa baik seraya mengejek dan menyakiti seperti halnya orang yang menafkahkan hartanya untuk dilihat manusia, dan ia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Maka keadaannya adalah laksana batu licin yang di atasnya tertutup tanah, lalu hujan lebat menimpanya dan meninggalkannya licin tandas. Mereka tidak akan memperoleh sesuatu dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. (QS al-Baqarah [2]:261-264)
Bahkan pengemis pun harus diperlakukan dengan baik. Jangan berbicara kasar kepada seorang pengemis. Meskipun laku mengemis kurang disukai, namun hak seseorang untuk mengemis pada saat yang amat sulit, tetap dijamin. Tidak itu saja, juga tidak diizinkan menyakiti harga diri mereka yang terpaksa harus mengemis. Pada awal masa Islam, ketika masyarakat secara keseluruhan meyakini bahwa tidak mengemis itu lebih baik daripada mengemis, harga diri pengemis pun masih dijaga. Suatu ketika Rasulullah s.a.w. memberikan perumpamaan bahwa “tangan yang di atas (si pemberi) itu lebih baik dari tangan yang di bawah (si penerima)”. Akibat daripada pandangan ini maka cukup banyak mereka yang lebih memilih mati dalam kemiskinan daripada harus mengemis untuk hidup. Guna memelihara mereka, Al-Quran mengingatkan masyarakat secara keseluruhan bahwa di antara kalian terdapat orang-orang yang berjuang di jalan Allah yang tidak mampu keluar dari kemiskinan: “Infak tersebut diuntukkan bagi orang-orang fakir yang terikat pada jalan Allah, mereka tidak mampu bergerak bebas di muka bumi. Orang yang tuna ilmu menganggap mereka mampu disebabkan mereka menghindarkan diri dari meminta-minta. Engkau dapat mengenali mereka dari roman muka mereka, dan mereka tidak suka meminta-minta kepada manusia dengan mendesak-desak. Dan harta apa pun yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS al-Baqarah [2]:273)

Ikhtitam
Memahami alur kajian di atas membawa kita pada kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya merupakan keluarga besar yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang dikarenakan ras kebangsaannya; warna kulitnya; status sosial dan beragam cirikhas masing-masing bangsa. Harga seseorang tidak dinilai dari warna kulitnya, jumlah harta miliknya, atau oleh pangkat dan kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaqnya dan oleh cara ia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan dan manusia. Seluruh keturunan manusia tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka pengetahuan yang lebih baik mengenai satu sama lain agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing. Mereka terhubungkan oleh tali persaudaraan yang dikarenakan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketaqwaan seseorang dapat terlihat dari totalitasnya, baik kejernihan pikiran; kemampuan tindakan dan ketulusan hatinya dalam meyakini keberadaan Tuhan-nya. Konsistensi dalam menegakkan keterhubungan dengan Tuhan-nya (dzikrullah) dan pengorbanan sebagian harta serta rezeki yang ia peroleh dari Tuhan-nya. Lebih jauh tentang pengorbanan harta di jalan Tuhan dan kemanusiaan harus menimbulkan rasa dan sikap bersyukur atas karunia-Nya sehingga akan menjauhkan seseorang dari sikap sombong dan munafik. Karakteristik semacam inilah yang menggambarkan seseorang menjadi manusia sejati yang menghargai persaudaraan sejati semata-mata karena kecintaan dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

DOWNLOAD VERSI PDF  "APAPUN GOLONGANMU KITA ADALAH SAUDARA"

Maraji’

Ahmad, Tahir, Islam’s Response to Contemporary Isues, Islam International Publications Ltd, Tilford, Surrey, UK, 1992 (terjemahan).

Chirzin, Muhammad, Glosari Al-Qur’an, Penerbit Lazuardi, Jogjakarta, 2003.

Misrawi, Zuhairi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, Penerbit Firah, Jakarta, 2007.

Mutaqi, Ahmad Saifudin, Membangun Kesejahteraan Masyarakat Berkeadilan, artikel untuk DIAN Interfidei, Jogjakarta, 2010.

 (1) Penulis adalah berprofesi sebagai arsitek professional (IAI) dan kandidat asesor nasional Lembaga Pengadaan Jasa Konstruksi (LPJK). Diluar profesinya, penulis adalah penggiat dialog lintas iman (interfaith dialogue) dan relawan bantuan kemanusiaan Humanity First Indonesia (HFI). Dosen Tetap Program Studi Arsitektur, Program Pendidikan Profesi Arsitek, Jurusan Arsitektur, FTSP UII.

(2) Catatan nomor 2797 terjemah Surat al-Hujarat [49]:14 Kitab Suci Al-Qur’an, editor Malik Ghulam Farid, diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, 1987. Dalam catatan tersebut dijelaskan pula riwayat Rasulullah Muhammad SAW pada peristiwa Haji terakhir di Mekkah, tak lama sebelum Rasulullah Muhammad SAW wafat. Beliau berkhutbah dihadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan “Wahai sekaliyan manusia! Tuhan-mu itu Esa dan nenek moyangmu satu jua. Seorang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang bukan Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, dan begitu pula sebaliknya, seorang orang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa juga pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauhmana ia melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia diantara kamu sekaliyan pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertaqwa diantara kamu” (HR Baihaqi). Sabda agung ini menyimpulkan cita-cita paling luhur dan azas-azas yang paling mendasar. Di tengah suatu masyarakat yang terpecah-belah dalam kelas-kelas yang berbeda itulah Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan prinsip azasi yang sangat demokratis.

No comments:

Post a Comment